Salah satu hal yang saya syukuri dari memilih mendirikan startup bersama beberapa teman ketika baru lulus kuliah lebih dari satu dekade yang lalu adalah saya jadi belajar untuk mengatur diri saya sendiri. Tepatnya, saya dipaksa oleh keadaan untuk belajar mengatur diri sendiri karena memang di masa itu saya dan teman-teman tidak punya atasan, investor, atau siapa pun yang bisa berperan sebagai mentor yang bisa membantu dan membimbing kami. Barangkali satu-satunya pihak ketiga yang bisa berperan sebagai pihak yang menuntut akuntabilitas dari kami adalah klien atau customer kami. Tapi itu pun biasanya sebatas hubungan transaksional: kami sebagai penjual jasa dan klien sebagai pembeli jasa yang oleh karena itu berhak menuntut delivery jasa kami sesuai dengan yang sudah disepakati di kontrak jual beli.
Baru beberapa tahun kemudian ketika saya menemukan buku Managing Oneself yang ditulis oleh Peter Drucker, saya bisa connecting the dots, menemukan benang merah dari pengalaman yang sudah saya lalui dengan landasan teori yang ditulis oleh Drucker di buku tersebut. Sekarang, setelah hampir setengah dekade menjalani karir sebagai karyawan di organisasi yang sangat besar, saya merasa hal-hal yang saya pelajari dari buku Managing Oneself masih relevan. Meski kini bekerja di organisasi yang memiliki sistem performance review yang relatif terstruktur dan ketat, saya tetap memandang kemampuan untuk melakukan swakelola diri adalah kompetensi yang penting bagi seorang knowledge worker seperti saya dan teman-teman pembaca.
Menurut Drucker, agar bisa melakukan swakelola diri, seseorang perlu bisa menjawab dan senantiasa mengevaluasi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apa kelebihan saya?
Bagaimana saya bisa mencapai performa terbaik saya?
Apa nilai-nilai yang saya anut?
Di mana saya seharusnya berada?
Bagaimana seharusnya saya berkontribusi?
Meski sekilas tampak seperti pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu practical, Drucker menawarkan sebuah kerangka kerja (framework) yang sangat praktis untuk membantu kita menjawab kelima pertanyaan di atas. Apa itu? Analisis umpan balik.
Analisis Umpan Balik
Di edisi sebelumnya, Gio sudah panjang lebar membahas tentang seni menerima umpan balik. Di tulisan ini, saya akan membahas satu bentuk umpan balik yang belum banyak dibahas di tulisan Gio. Bentuk umpan balik tersebut adalah realita.
Sadar atau tidak, apa yang terjadi di dunia nyata barangkali adalah bentuk umpan balik yang paling jujur. Saya ambil contoh sederhana, kalau kita sedang belajar dalam rangka persiapan ujian GRE dan IELTS, barangkali tolok ukur paling presisi untuk menentukan apakah kita sudah belajar dengan baik atau belum adalah apakah nilai GRE dan IELTS kita lebih baik dari nilai kita sebelum melakukan persiapan ujian.
Dalam Managing Oneself, Drucker menyarankan, setiap kali kita membuat keputusan besar, kita harus menulis apa yang kita harapkan terjadi dalam 9-12 bulan sebagai outcome dari keputusan tersebut. Menurut Drucker, ini akan sangat membantu dalam menemukan apa kelebihan kita dan bagaimana cara mencapai performa terbaik kita.
Untungnya, sebelum menemukan buku Managing Oneself, saya dan teman-teman co-founders saya dulu sudah mengamalkan ini. Dulu, kami selalu punya beberapa target yang kami evaluasi per tahun dan per tiga tahun. Kami sepakat, jika dalam tempo tiga tahun kami masih jauh dari apa yang kami targetkan, maka kami harus melakukan perubahan yang drastis. Di tiga tahun pertama sejak kami mendirikan usaha, misalnya, kami memutuskan untuk pindah dari Bandung ke Jakarta. Pertimbangan utama kami, sebagai perusahaan yang lebih banyak menjual jasa pengembangan perangkat lunak, kami perlu banyak berinteraksi dengan klien kami yang mayoritas berada di Jakarta. Waktu itu ada lumayan banyak setback yang harus kami terima jika mengambil keputusan ini, barangkali saya ceritakan di lain kesempatan, tapi akhirnya kami tetap putuskan untuk berteguh hati, “ke Jakarta aku kan kembali”. Entah berapa banyak teman-teman pembaca yang mengerti referensi barusan. Hehe.
Mengutip Drucker, “comparing your expectations with your results also indicates what not to do. We all have a vast number of areas in which we have no talent or skill and little chance of becoming even mediocre. It takes far more energy and work to improve from incompetence to mediocrity than it takes to improve from first-rate performance to excellence.”
Salah satu hal yang saya dan teman-teman co-founders saya temukan dari mengamalkan analisis umpan balik ini adalah ternyata secara kolektif kami cukup terampil dalam mengembangkan perangkat lunak, tapi tidak ahli dalam menjual jasa dan produk. Ini salah satu alasan kenapa di tahun 2015 kami akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran dari sebuah perusahaan yang lebih besar untuk membuat joint venture di mana perusahaan partner tersebut berfokus pada sisi bisnis (utamanya sales dan marketing), sementara saya dan teman-teman berfokus pada delivery.
Mengenali kelebihan kita nantinya berdampak juga pada bagaimana kita bisa mencapai performa terbaik kita. Kata Drucker, “a person can only perform from strength. One cannot build performance on weakness, let alone on something one cannot do at all.”
* Syarat dan Ketentuan Berlaku
Sebagaimana iklan dan promosi, tiap nasehat rasanya memang perlu diberi tanda bintang kecil. Maksudnya, ada caveats, ada syarat dan ketentuan tertentu yang perlu kita perhatikan sebelum kita mengambil sebuah nasehat mentah-mentah. Dalam konteks swakelola diri, terutama dalam hal memahami apa kelebihan kita, ada beberapa caveats yang saya rasa perlu teman-teman pembaca perhatikan.
Pertama, seperti pada contoh persiapan ujian GRE dan IELTS yang saya sebut di beberapa paragraf lalu, menurut saya sangat penting untuk menggunakan diri sendiri sebagai tolok ukur utama. Ada alasan kenapa di banyak course GRE dan IELTS selalu ada ujian kalibrasi di awal. Ini untuk membantu kita memahami, ketika kita memulai course, kira-kira kemampuan kita ada di mana. Tujuan kita, paling tidak, adalah untuk mencapai nilai yang lebih baik dari nilai kalibrasi awal tadi.
Bukan berarti kita tidak perlu membandingkan dengan pihak manapun selain diri sendiri. Kembali ke contoh GRE dan IELTS tadi, bagaimana pun juga, tiap institusi pendidikan yang mewajibkan kandidat peserta didik melampirkan nilai GRE dan IELTS pasti punya standar minimal nilai GRE dan IELTS. Kita tidak bisa meminta institusi-institusi tersebut untuk menurunkan standarnya mengikuti nilai kita, misalnya.
Hanya saja, pengalaman saya, menjadikan diri sendiri sebagai tolok ukur utama sangat membantu menjaga mental well-being diri sendiri. Masih dengan contoh GRE dan IELTS tadi, meski saya tahu bahwa skor GRE saya ketika latihan masih belum mencapai nilai minimum di institusi pendidikan yang saya tuju, selama trend skor tersebut naik, saya merasa content. Paling implikasinya saya harus belajar lebih keras atau menunda mengambil ujian resmi GRE. Toh, sebenarnya dalam hidup, permasalahan kita lebih banyak jatuh di domain infinite games ketimbang finite games. Lebih lengkap tentang apa itu finite games dan infinite games akan kita bahas di lain edisi.
Caveat kedua, perlu saya ingatkan bahwa dalam hidup banyak hal-hal yang terjadi di dunia nyata yang di luar kuasa kita. Sebagai contoh, bisa saja kita sudah melakukan usaha terbaik kita, tapi ternyata hasil yang kita dapatkan di dunia nyata tidak sebaik yang kita harapkan. Apakah keputusan kita keliru? Bagaimana menentukan apakah outcome yang terjadi adalah dampak dari keputusan kita atau memang ada hal-hal yang diluar kuasa kita untuk mengontrolnya. Lebih dalam mengenai hal ini juga akan kita bahas di edisi terpisah.
Hal yang saya ingin tekankan di tulisan ini adalah, di satu sisi, menjadi outcome oriented memang penting. Di sisi lain, jangan sampai kemudian kita menafikan effort yang sudah dilakukan oleh diri sendiri atau orang-orang di sekitar kita. Salah satu contoh aplikasi dari caveat ini adalah ketika kita berperan menjadi mentor di dunia kerja. Sangat penting bagi seorang mentor untuk melihat hasil yang dicapai oleh mentee-nya dengan mempertimbangkan dari mana sang mentee bermula. Tidak semua individu memulai dari garis start yang sama. Membimbing mentees sesuai dengan pace masing-masing adalah salah satu skill yang penting untuk dipelajari oleh seorang mentor.
Ketiga, dan barangkali yang terakhir untuk dibahas di edisi kali ini, jangan sampai fokus terhadap kelebihan membuat kita jadi memiliki apa yang disebut Drucker sebagai disabling ignorance. Sebagai contoh, meski seorang software engineer barangkali tidak melihat public speaking sebagai strength-nya, tidak berarti dia tidak perlu sama sekali belajar bagaimana cara mengartikulasikan diri. Tidak semua orang harus bisa melakukan presentasi sekharismatik Steve Jobs di panggung WWDC. Tapi semua orang, termasuk software engineer, perlu untuk bisa mengartikulasikan apa yang ia ketahui, apa expertise-nya, dan terutama apa yang sudah ia capai.
Mungkin ini terdengar agak bertentangan dengan nasehat Drucker untuk fokus pada strength. Tapi saya rasa memang nyaris tidak ada profesi yang memungkinkan kita untuk berfokus pada satu atau dua skill yang spesifik saja. Selalu ada complementary skills yang perlu kita pelajari untuk memperkuat core skill yang diperlukan di bidang yang kita tekuni. Mengacuhkan complementary skills tersebut bisa menjerumuskan kita ke disabling ignorance.
Penutup
Masih ada tiga pertanyaan dari lima pertanyaan Drucker di awal tulisan ini yang belum saya bahas. Sekali lagi, meski tampak terlalu filosofis, saya tetap merasa ada hal-hal praktis yang bisa kita pelajari dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rencananya, ketiga pertanyaan ini akan saya bahas di edisi IO berikutnya. Jadi, jangan lupa untuk subscribe newsletter ini dan kanal YouTube IO untuk senantiasa mendapat notifikasi setiap kami merilis konten terbaru.